Perjanjian Topekkong
A.
Latar Sejarah
Secara geografis,
wilayah Sinjai menempati posisi strategis karena berada pada kawasan pantai dan
pegunungan yang merupakan lintas batas kerajaan Gowa dan Bone. Antara Kerajaan
Gowa dan Kerajaan Bone senantiasa bersaing dalam merebut pengaruh terhadap
kerajaan tetangga sehingga wilayah Sinjai merupakan wilayah yang diincar oleh
kedua kerajaan tersebut. Untuk mempertahankan wilayah garis pantai, Raja-Raja
Kerajaan Tellu Limpoe (Lamatti, Tondong, Bulo-Bulo) bersepakat mendirikan
benteng pertahanan di Balangnipa pada tahun 1557 dan diberi nama Benteng Tellu
Limpoe atau Benteng Balangnipa.
Melihat kondisi
perkembangan gerakan kedua kerajaan tersebut (Gowa dan Bone), maka
kerajaan-kerajaan kecil yang ada dalam wilayah Sinjai menyatakan dirinya
sebagai kerajaan yang berstatus federasi yang terbentuk menjadi dua kekuatan
yang tidak dapat dipisahkan dalam membendung pengaruh dari dua kerajaan besar. Upaya
pembentukan dua kekuatan pertahanan, yaitu Tellu Limpoe dan Pitu Limpoe mengadakan
kesepakatan untuk mempertahankan wilayahnya dari pengaruh ekspansi Gowa dan
Bone. Oleh karena raja-raja yang ada dalam wilayah Sinjai merasa dirinya
sebagai satu sumber keturunan sehingga kedua kekuatan
tersebut (Tellu Limpo dan Pitu Limpoe) menempuh jalan yang arif
dengan bersikap netral menghadapi kedua kerajaan tersebut.
Sikap netral itulah sehingga menjadikan
dirinya sebagai mediator untuk melakukan perdamaian antara Kerajaan Gowa dan
Kerajaan Bone. Untuk itu maka Tellu Limpoe maupun Pitu
Limpoe tidak melakukan pemihakan dalam menghadapi kedua kerajaan tersebut
sehingga berhasil mempertemukan kedua kerajaan yang saling berebut kekuasaan
dan pengaruh. Dengan demikian maka digagaslah suatu perundingan untuk perdamaian
sehingga pada bulan Februari 1564 oleh Raja Bulo-Bulo Ke-VI La Mappasoko Lao
Manoe’ Tanru’na berhasil mempertemukan kedua kerajaan yang bertikai.
Dalam perundingan,
kerajaan Gowa diwakili oleh I MANGERAI DAENG MAMETTA dan kerajaan
Bone diwakili oleh LATENRI RAWE BAONGKANGE yang disaksikan oleh raja-raja yang
ada dalam wilayah Sinjai, yaitu Raja La Padenring (Raja Lamatti ke-VIII
(bergelar Arung Mapali’e, suami I Daommo alias Mabbissuneng Eppa’e Arung
Bulo-Bulo), Iyottong Daeng Marumpa Raja Tondong, dan La Mappasoko
Lao Manoe’ Tanrunna mewakili Raja Bulo-Bulo. Pertemuan antara Raja Bone dan
Raja Gowa diadakan di Topekkong Kalaka Sinjai kira-kira 3 km dari pusat kota
Sinjai (Balangnipa) dan berhasil melahirkan kesepakatan yang dikenal dengan
PERJANJIAN TOPEKKONG yang ditandai dengan LAMUNG PATUE’ RI TOPEKKONG (penanaman
batu besar). Lamung Patue’ merupakan simbol, bahwa bagian batu yang
tertanam dimaksudkan sebagai simbol penguburan sikap keras yang dapat merugikan
semua pihak. Batu yang muncul dipermukaan tanah, merupakan simbol persatuan
yang tak tergoyahkan.
B. Deskripsi
Situs Perjanjian Topekkong ini berada di area persawahan dengan struktur
permukaan tanah di sekitar situs cukup rata sehingga tidak sulit untuk diakses. Untuk sampai pada
situs ini dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Situs
Perjanjian Topekkong ini tergolong cukup terawat. Hal ini terlihat dari kondisi
lingkungan yang lumayan bersih baik dari sampah dedaunan maupun rumput-rumput
liar.
Di situs ini ditemukan sebuah prasasti yang berisi Perjanjian Topekkong. Pada bagian isi
perjanjian terdapat tiga bagian isi perjanjian yang masing-masing memiliki
bahasa dan aksara yang berbeda yaitu berbahasa Inggris dan beraksara romawi,
berbahasa Bugis dan beraksara Romawi dan berbahasa Bugis dan berakasara
Lontara.
Adapun Isi Perjanjian Topekkong adalah :“Madumme
To Sipalalo, Mabelle To Sipasoro, Seddi Pabbanua Pada Riappunnai, Lempa Asefa
Mappanessa, Musunna Gowa Musunna To Bone
Na Tellulimpoe, Makkutopi Assibalirenna.
Sisappareng Deceng Teng Sisappareng Ja. Sirui Menre Teng Sirui No, Malilu
Sipakainge Mali Siparappe. Artinya
adalah “Saling mengizinkan dalam mencari tempat bernaung. Saling memberi
kesempatan dalam mencari ikan. Satu rakyat milik kita semua. Kemanalah padinya
dibawa itulah yang menentukan (Kerajaan mana yang dipilihnya). Musuh Kerajaan
Gowa juga musuh Kerajaan Bone dan Tellulimpoe. Demikian pula sebaliknya. Saling
memberikan kebaikan bukan kejahatan. Saling bantu membantu tidak saling
mencelakakan. Yang lupa diri diingatkan, yang hanyut diselamatkan.
Dalam situs topekkong
terdapat 3 (tiga) buah batu jenis andesit
dengan ukuran dan warna yang berbeda. Batu tersebut yang oleh masyarakat
setempat dan batu tersebut merupakan tempat duduk masing-masing raja yang
berasal dari perwakilan Kerajaan Tellulimpoe, Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa.
Posisi/letak batu ini membentuk pola segitiga sama sisi. Batu pertama berada di
sebelah barat, berwarna hitam dengan panjang 75 cm dan lebar 85 cm. Batu kedua
berada di sebelah selatan, berwarna coklat dengan panjang 86 cm dan lebar 71
cm. Batu ketiga berada di sebelah timur dengan ukuran panjang 82 cm dan lebar
76 cm. Di sebelah barat pagar Situs
Perjanjian Topekkong terdapat sebuah batu menyerupai menhir yang jika dikaitkan
dengan sejarah Perjanjian Topekkong, batu tersebut masih memiliki asosiasi
dengan temuan-temuan di dalam kawasan Situs Perjanjian Topekkong. Batu tersebut merupakan
jenis batuan andesit dengan ukuran tinggi 43 cm, dan
diameter 22 Cm. Batu ini dianggap merupakan simbol peleburan segala permusuhan antara Kerajaan Bone dan
Kerajaan Gowa.